Salah satu ancaman Perubahan iklim yang belakangan ini terjadi dapat berakibat pada kelangkaan pasokan air untuk pertanian. Hal tersebut sangat sangat meresahkan petani dan dapat menjadi ancaman yang serius, karena pada akhirnya kelangkaan air dapat menurunkan produksi dan bahkan dapat menyebabkan kegagalan panen.
Kelangkaan air dipicu bukan saja akibat perubahan iklim, namun disebabkan oleh cara penggunaan air yang boros. Petani kerap mengairi sawah mereka dengan cara menggenangi secara terus menerus. Cara tersebut selain boros air, juga berdampak pada peningkatan emisi gas rumah kaca. Menurut Bouman et al. (2007), kebutuhan air dengan cara di atas mencapai 1.900-5.000 liter air untuk setiap kilogram beras yang dihasilkan.
Kini ada AWD (Alternate wetting and drying) yaitu satu teknologi hemat air yang dapat diterapkan petani untuk mengurangi penggunaan air irigasi di lahan sawah. Penerapan AWD bahkan dapat meningkatkan produksi padi selain menurunkan emisi/pelepasan gas rumah kaca (GRK). Teknologi ini dikembangkan oleh IRRI (International Rice Research institute) pada tahun 2009 di Philipina.
Pengujian terhadap AWD di Indonesia telah dilakukan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Balitbangtan) melalui peneliti di Balai Penelitian Lingkungan Pertanian (Balingtan) bekerjasama dengan National Agriculture and food Research Organization (NARO) pada tahun 2013-2016 selama 6 musim tanam.
Ali Pramono, SP., M.Biotech, peneliti Balingtan, mengungkapkan bahwa dari hasil pengujian yang dilakukannya di Kebun Percobaan Balingtan, kelangkaan air di lahan sawah dapat ditekan bahkan dapat dihindari, salah satunya dengan menerapkan teknologi AWD. Teknologi ini mampu menghemat penggunaan air irigasi sebesar 17 - 20%, dan menekan emisi gas rumah kaca antara 35 - 38%.
Balingtan bekerjasama dengan World Agroforestry Centre (ICRAF) juga telah melakukan penelitian lainnya di 3 Kabupaten Banyumas, Purbalingga dan Banjarnegara yang menerapkan Climate Smart Agriculture (CSA) dengan teknologi AWD di lahan petani pada tahun 2015-2016. Miranti Ariani, SP., M.Si, peneliti Balingtan, juga mengungkapkan bahwa penerapan CSA dengan pengaturan air AWD di 3 kabupaten di atas dapat meningkatkan produksi hingga 1 ton/ha dibandingkan dengan pengairan terus menerus.
“Pengaturan air dengan sistem AWD dapat meningkatkan produksi hingga 1 ton/ha dibandingkan dengan pengairan terus menerus. Penurunan emisi GRK di tiga kabupaten di atas, masing-masing mencapai 23, 14, dan 7% dibandingkan budidaya padi konvensional,” papar Miranti.
Teknologi AWD telah diterapkan di beberapa negara di Asia seperti Philipina, Bangladesh, Jepang, Vietnam, Thailand dan Indonesia. AWD sangat mudah dan sederhana. Cara menerapkannya di lahan sawah yaitu dengan penggunakan pipa paralon berdiameter 10-15 cm dengan panjang 30-100 cm yang disebut piezometer. Dengan ukuran pipa tersebut maka permukaan air dapat terlihat dari luar.
Selanjutnya pipa paralon dilubangi kecil-kecil di semua sisinya sehingga air mudah masuk dan keluar. Pipa dibungkus dengan kain kasa untuk mencegah tanah masuk ke dalam pipa. Piezometer dipasang dengan membuat lubang pada tanah dan membenamkannya hingga tersisa 10 cm – 20 cm di atas permukaan tanah. Air akan masuk melalui lubang celah pipa yang dipendam di dalam tanah.
Piezometer harus ditempatkan di bagian yang mudah diakses dari lapangan dekat dengan pematang, sehingga mudah untuk memantau kedalaman airnya. Kedalaman air hendaknya mewakili kedalaman air rata-rata dari lahan sawah. Piezometer tidak boleh dipasang di tempat yang lebih tinggi atau lebih rendah.
Penerapan AWD dapat dimulai pada 1-2 minggu setelah penanaman benih padi. Apabila terdapat banyak gulma, AWD dapat ditunda selama 2–3 minggu untuk membantu menekan pertumbuhan gulma. Manfaat lain dari pengeringan lahan sawah selain dapat membantu mengurangi pertumbuhan gulma juga dapat mengurangi serangan organisme pengganggu tanaman seperti wereng dan keong sawah, menciptakan lingkungan yang kaya oksigen yang baik untuk pertumbuhan perakaran serta mengurangi pembentukkan gas metana.
Cara pengairan yang dilakukan pada sistem ini adalah sebagai berikut: mula-mula sawah diairi setinggi 5 cm di atas permukaan tanah, dibiarkan beberapa hari hingga air turun secara alami sampai 15 cm di bawah permukaan tanah. Setelah air turun, pengairan dilakukan kembali. Jumlah penurunan air akan bervariasi antara 1 hingga 10 hari, tergantung pada jenis tanah, cuaca, dan tahap pertumbuhan tanaman.
Penentuan waktu dan frekuensi pergantian pembasahan dan pengeringan bergantung pada tahap pertumbuhan padi, cuaca dan kondisi lahan sawah yang disesuaikan oleh sistem budidaya padi yang digunakan.
Kepala Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian (BBSDLP), Prof. Dedi Nursyamsi, M. Agr, selalu menyampaikan bahwa upaya penghematan air untuk kegiatan pertanian sangat penting dilakukan untuk penambahan areal tambah tanam serta mengantisipasi kelangkaan air di musim kemarau. “Membangun infrastruktur air dan sarana irigasi terus kita lakukan. Namun demikian kita juga mesti bijak dan hemat dalam memanfaatkan air yang kita kelola,” ujar Dedi.
Teknologi AWD dapat menghemat air, meningkatkan hasil, dan menurunkan emisi GRK di lahan sawah. Petani untung, lingkungan terjaga. (Yf)
Krisman, S.P (Penyuluh Pertanian Muda)
Sumber: Badan Litbang Pertanian
Izin promo ya Admin^^
BalasHapusbosan tidak ada yang mau di kerjakan, mau di rumah saja suntuk,
mau keluar tidak tahu mesti kemana, dari pada bingung
mari bergabung dengan kami di ionqq^^com, permainan yang menarik
ayo ditunggu apa lagi.. segera bergabung ya dengan kami...
add Whatshapp : +85515373217 ^_~ :))